REI: Aturan Turunan UUCK Terkait Amdal Tidak Efisien

Ilustrasi: Kawasan perumahan/Foto Istimewa
JAKARTA – Tidak hanya Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), ternyata banyak aturan turunan lain dari Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) yang justru mempersulit dunia usaha termasuk di sektor properti. Padahal, undang-undang tersebut bertujuan untuk mendorong investasi, memberi kemudahan berusaha dan perizinan, serta mengatasi masalah regulasi yang tumpang tindih.
Salah satunya aturan turunan UUCK yang dinilai menghambat industri properti khususnya perumahan adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (Permen LHK) Nomor 4 Tahun 2021 tentang Daftar Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup atau Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelola.
Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Realestat Indonesia (DPP REI) Koordinator Bidang Tata Ruang dan Pengembangan Kawasan, Hari Ganie menegaskan bahwa Permen LHK No 4 tahun 2021 semakin mempersulit pelaku usaha termasuk pengembang rumah sederhana. Pasalnya, kini pemerintah pusat yang menentukan semua keputusan terkait Amdal dari sebelumnya cukup di tingkat daerah. Akibatnya, waktu dan biaya menjadi tidak terukur.
“Permen LHK ini tidak efisien dan justru mempersulit pengembang terutama pengembang rumah subsidi yang sebagian besar adalah pengusaha kecil dan menengah,” tegas Hari Ganie kepada Industriproperti.com, Senin (14/3/2022).

Hari Ganie
Waktu Pengurusan
Oleh karena perizinannya sekarang berada di pemerintah pusat, maka konsultan Amdal juga kemungkinan dari pusat yang jika turun untuk survei ke daerah tentu membutuhkan biaya untuk transportasi dan akomodasi. Demikian pula saat nanti rapat di Jakarta, maka perwakilan terkait dari daerah harus datang. Kondisi ini membuat waktu pengurusan menjadi lebih lama, dan biaya juga lebih mahal.
Menurut Hari, lazimnya penyusunan Amdal memang butuh waktu lama. Saat ini saja, pemerintah daerah yang mengeluarkan Amdal membutuhkan waktu minimal sekitar enam bulan. Produknya banyak sekali dan alur penyusunan panjang dari kerangka acuan, mendapat persetujuan, survei ke lapangan, analisis laboratorium, laporan, hingga pembahasan dalam rapat Komisi Amdal hingga izin keluar.
“Alur ini berpotensi menjadi lebih lama karena butuh waktu koordinasi dari daerah ke pusat atau sebaliknya,” kata alumni Jurusan Teknik Planologi Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut.
Kelebihan pengurusan Izin Amdal di daerah, ungkapnya, adalah karena Komisi Amdal berasal dari unsur dinas di daerah dan perwakilan perguruan tinggi (akademisi) di daerah tersebut. Pola ini banyak yang menganggap lebih ideal. Sebab, unsur dinas dan akademisi di daerah yang lebih tahu kondisi lingkungan di daerah tersebut.
“Kalau alasannya karena kapasitas konsultan amdal di daerah dianggap kurang mumpuni maka itu seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat untuk meningkatkan kemampuan mereka. Saya kira konsultan daerah mampu. Apalagi di daerah mereka didampingi unsur akademisi dari perguruan tinggi yang sebagian besar bergelar doktor,” tegas Hari Ganie.
Amdal Perumahan
Selain mengkritisi proses pengurusan Izin Amdal yang kini tersentralisasi di pemerintah pusat, dia juga mempertanyakan urgensi Amdal bagi sektor perumahan. Terutama perumahan rumah sederhana. Menurutnya, membangun perumahan itu beda dengan membangun pabrik yang mungkin menghasilkan limbah industri berbahaya.
Dia menambahkan perumahan paling hanya menghasilkan limbah domestik. Sehingga untuk perumahan sebenarnya cukup UKL/UPL (Upaya Kelola Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) saja.
“Mungkin untuk perumahan di atas 200 hektar baru dibutuhkan Amdal, itu pun hanya terkait traffic dan sampah. Kalau traffic sudah ada Amdal Lalin juga. Sedangkan, sampah sudah mampu dikelola pemerintah daerah secara baik dan profesional,” kata Hari Ganie.
REI menyayangkan Kementerian LHK yang tidak melibatkan asosiasi pengembang terutama REI dalam menyusun kriteria luas perumahan yang harus memiliki Amdal. Akibatnya, semua jenis perumahan mendapat perlakuan sama, termasuk rumah sederhana subsidi yang luasnya maksimal hanya 5 hektar.
Hari menilai, sebagai salah satu turunan UUCK, Permen LHK No 4 tahun 2021 ini terlalu berlebihan dan mengada-ada. Selain itu, aturan ini juga belum tersambung ke sistem Online Single Submission (OSS) sehingga sangat merepotkan.
“Menurut saya, bom waktu UUCK ini satu persatu akan muncul. Baik persoalan yang sudah diatur maupun yang sama sekali belum disentuh. Oleh karena itu, REI berharap pemerintah segera menyelesaikan semua persoalan ini dengan selalu melibatkan seluruh stakeholder. Terutama asosiasi pengembang, sehingga aturan yang ada benar-benar sesuai dengan tujuan awal UUCK,” ujar dia. (MRI)