UUCK Diharapkan Ubah Kerumitan dalam Perizinan
Jakarta –Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) memberikan amanat bahwa tata ruang merupakan dasar dalam semua proses pembangunan di antaranya terkait perizinan lokasi untuk kegiatan usaha berusaha. Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Abdul Kamarzuki menegaskan hal tersebut dalam Webinar Policy Talks II ini diselenggarakan oleh Policy Space, pada hari Sabtu 2 Oktober 2021.
Webinar Policy Talks II ini sendiri terselenggara dengan tujuan untuk memperkenalkan kebijakan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR) dan persetujuan lingkungan dalam rangka mendukung kemudahan berusaha yang berkelanjutan. Policy Space sendiri ialah sebuah platform yang menyediakan informasi edukasi dan koneksi yang berkaitan dengan kebijakan kebijakan kemudahan Berusaha.
“Memang dalam pembahasan undang-undang Cipta Kerja ini saya sampaikan di badan legislatif, kenapa tata ruang itu penting dan perlu menjadi menjadi acuan, karena untuk membangun apapun, kegiatan ekonomi dan sosial budaya, masyarakat membutuhkan ruang. Maka kita harus membuat suatu aturan sebagai acuan yang mengatur kita memenuhi kebutuhan dalam ruang yang sangat terbatas ini,” ungkap Abdul Kamarzuki, sesuai dengan keterangan persnya.
Pada kesempatan tersebut, jelas Plt. Direktur Jenderal Tata Ruang, pada ruang yang ada, terdapat kawasan-kawasan rawan bencana, dan resapan air. Kemudian, kawasan dengan satwa mendapat perlindungan, flora dan fauna. Sementara itu di ruang yang terbatas ini, kehidupan manusia memerlukan aktifitas sosal juga ekonomi. Hanya seperempat wilayah Indonesia yang merupakan daratan. Dari wilayah daratan tersebut, pengelolaannya hanya bisa mencakup sebagian saja.
“Saat penyusunan Undang-Undang Cipta Kerja di badan legislatif, disepakati bahwa tata ruang digunakan sebagai single reference. Dalam pembahasan UUCK, ada satu hal yang melatar belakangi penyusunan UU tersebut, yaitu, kemudahan berusaha. Jadi UUCK juga bertujuan untuk memudahkan pengsuaha melakuan aktifitasnya dengan tetap mengenali keterbatasan-keterbatasan ruang yang ada” jelas Kamarzuki.
Kerumitan Perizinan
Kamarzuki mengungkapkan bahwa hal yang ingin diubah melalui UUCK adalah kerumitan dalam proses perizinan. “Setelah izinnya keluar pun banyak terjadi tumpang tindih di lapangan. Masyarakat pun bingung terhadap proses perizinannya dan dokumen mana yang menjadi acuan. Kemudian banyak keterlanjuran terjadi di lapangan karena mungkin ketidaktahuan atau ketidaksabaran bagi para pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usahanya, termasuk masyarakat dalam melakukan kegiatan sosial dan ekonomi,” papar Kamarzuki.
Hal-hal tersebut turut melatarbelakangi terbitnya UUCK dan peraturan turunannya, Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2021 tentang penyelenggaraan penataan ruang. Harapannya adalah dengan adanya landasan hukum ini kemudahan dalam proses perzinan dapat terwujud. Pemerintah memberikan jaminan bahwa usaha yang keluar tidak tumpang tindih dengan izin-izin usaha lain.
“Pemanfaatan ruang yang selama ini tumpang tindih dilapangan perlu dirapikan. Salah satu upaya merapikan tersebut adalah dengan mendaftarkannya dengan single refrence,” sambung lulusan Teknik Planologi Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut.
Adapun sesuai dengan amanat dari UUCK dan PP Penyelenggaraan Penataan Ruang, untuk semua pemanfaatan ruang harus melalui KKPR. Para pelaku usaha dapat langsung melakukan kegiatan berusahanya apabila telah mendapatkan konfirmasi KKPR di sistem Online Single Submission (OSS). Konfirmasi KKPR akan otomatis terbit apabila daerah tersebut sudah memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
Namun demikian, Kamarzuki mengakui bahwa hingga saat ini, masih banyak daerah yang belum memiliki RDTR yang memenuhi kualifikasi sistem OSS. Dengan masih banyak daerah yang belum mempunyai RDTR maka pemerintah membuka mekanisme Persetujuan KKPR. Penerbitannya berdasarkan penilaian dari seluruh rencana tata ruang yang ada. (ADH)