Dirjen Tata Ruang Bantah UUCK “Kebiri” Kewenangan Daerah

0
947

JAKARTA – Undang-Undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) dituding “mengebiri” atau memotong sejumlah kewenangan pemerintah daerah (Pemda) baik provinsi maupun kabupaten/kota seperti yang sebelumnya diatur UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Abdul Kamarzuki membantah informasi yang banyak tersebar luas di publik tersebut. Ditegaskan, kewenangan penyusunan tata ruang masih ada di daerah sesuai dengan NSPK (Norma Standar Pedoman Kriteria) yang telah disusun oleh pemerintah pusat.

“Tidak benar kalau dikatakan UUCK mencabut atau mengurangi wewenang pemerintah daerah dalam penataan ruang. Yang benar pemerintah pusat hanya membuat NSPK-nya. Kenapa perlu ada ini? Yakni supaya penyusunan RDTR (Rencana Detil Tata Ruang) di semua daerah itu mengacu kepada standar yang sama,” kata Uki, demikian dia akrab disapa pada Rapat Kerja dengan Badan Urusan Legislasi Daerah DPD RI terkait implementasi UU Cipta Kerja di Daerah, secara daring, Rabu (31/3/2021).

Dalam siaran persnya yang diterima akhir pekan ini, disebutkan bahwa produk RDTR harus mengacu kepada standar yang sama karena akan menjadi “mesin” pelaksanaan Online Single Submission atau OSS yang semuanya berbasis teknologi digital. Tanpa SOP (standar operasional prosedur) yang serupa, maka dikhawatirkan tidak dapat oleh dibaca sistem OSS.

Abdul Kamarzuki/Foto: Rinaldi

Menurut Uki, mekanisme yang digunakan dalam sistem OSS Versi 2.0 yang sedang dibangun bersama BKPM, rencana tata ruang yang diunggah ke sistem haruslah telah melalui standarisasi. Hal itu juga sebagai bentuk amanat UU Cipta Kerja dimana produk rencana tata ruang wajib dipublikasikan melalui sistem digital.

“Jika di satu daerah menyusun rencana tata ruangnya sampai dalam, namun di satu sisi daerah lainnya tidak menyusun sampai serinci itu, maka di sistem OSS tidak akan terbaca karena belum sesuai standar yang telah ditentukan,” tegas dia.

Meski tetap kewenangannya di daerah, namun UU Cipta Kerja membuat batasan waktu penetapan RTRW. Secara teknis, nantinya RTRW akan mendapatkan persetujuan dari Kementerian ATR/BPN dalam bentuk peraturan substansi (persub). Perda mengenai RTRW dapat dikeluarkan paling lama dua bulan setelah persub tersebut dikeluarkan.

Kalau dalam dua bulan usai persub diberikan tidak kunjung disahkan perda-nya, maka dapat ditetapkan dengan Pergub atau Perwali/Perbup dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPRD. Tetapi kalau satu bulan tidak juga ditetapkan Pergub/Perwali/Perbup-nya, kata Uki, maka kewenangan pengesahan akan diambil alih oleh pemerintah pusat.

“Soal waktu, memang sudah dibatasi, jadi ada deadline-nya sehingga penetapan tata ruang tidak berlarut-larut sampai bertahun-tahun. Soal pembatasan waktu, telah dibahas di Baleg DPR RI dan ini memang sudah diperhitungkan dan realistis,” jelas Uki.

Ketua BULD DPD RI Marthin Billa menuturkan dengan adanya UU Cipta Kerja dan PP Penyelenggaraan Penataan Ruang, maka terdapat istilah dan kebijakan baru yang harus disosialisasikan kepada masyarakat dan pemerintah daerah agar tidak terjadi misinformasi antara pemerintah pusat dan daerah.

“Agar sosialisasi terkait kewenangan daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang yang termuat dalam UU CK dan PP No. 21/2021 dapat dipercepat, diperluas dan segera dilakukan agar tidak terjadi kebingungan di daerah,” ujar dia.

BULD, menurut Marthin, sedang mengkaji lebih lanjut mengenai dampak UU Cipta Kerja terhadap kewenangan pemerintah dalam membentuk Peraturan Daerah (Perda) dan berbagai regulasi termasuk di bidang penataan ruang. (MRI)