Gedung Hijau Diincar Mayoritas Pengguna Properti Komersial di Asia Pasifik

0
9

JAKARTA – Upaya dunia usaha untuk mewujudkan Net Zero Carbon (NZC) mendorong strategi dekarbonisasi portofolio yang ambisius bagi para pengguna bangunan di Asia Pasifik. Ini menciptakan kesenjangan antara pasokan dan permintaan untuk bangunan berkelanjutan di kawasan tersebut. Kesenjangan ini akan mendorong persaingan ketat di antara penghuni yang mencari ruang kantor rendah karbon dalam beberapa tahun mendatang hingga 2030.

Menurut konsultan realestat global JLL (NYSE: JLL), sebanyak 87% dari pengguna bangunan yang di survei di Asia Pasifik menginginkan portofolio yang 100% bersertifikasi hijau pada tahun 2030, naik dari 4% saat ini. Sentimen itu terutama terlihat di sejumlah negara seperti India, Malaysia, dan Thailand, dengan lebih dari 95% penghuni menargetkan portofolio yang sepenuhnya bersertifikasi hijau.

Tantangannya, seperti yang diungkap dalam analisis JLL, yaitu di kawasan Asia Pasifik, hanya 2 sq.ft ruang rendah karbon yang sedang dikembangkan untuk setiap 5 sq.ft yang dibutuhkan pada tahun ini hingga tahun 2028.

Riset baru ini didasarkan pada Sustainability Offices City Index yang dirilis JLL pada Oktober 2023 yang mengevaluasi 20 kota di Asia Pasifik dalam empat hal saham hijau, risiko fisik bangunan, daya saing kota, dan tingkat keproaktifan pemerintah kota terhadap target NZC.

“Sekarang, menyewa perkantoran di bangunan bersertifikat hijau bukan lagi sebuah hal yang berbeda, tetapi merupakan kriteria minimum bagi sebagian besar penyewa di Asia Pasifik. Selain itu, kami melihat semakin banyak perusahaan yang mengadopsi strategi keberlanjutan seperti audit energi, penataan ruangan yang berkelanjutan, dan penyewaan hijau untuk mewujudkan tempat kerja yang berkelanjutan,” kata Kamya Miglani, Head of ESG Research Asia Pacific JLL dalam keterangannya, Jumat (19/4).

Menurutnya, di masa depan para penyewa mungkin akan menaikkan standar dan mulai meminta data kinerja bangunan dan keberlanjutan terlebih dulu daripada sertifikasi bangunan hijau untuk memastikan bahwa aset-aset ini sudah sesuai dengan tujuan NZC mereka.

Riset itu juga mengungkap bahwa sebanyak 74% responden mengharapkan setengah dari kebutuhan energi mereka akan terpenuhi oleh energi terbarukan, naik dari 9% saat ini. Transisi ke energi terbarukan adalah langkah penting bagi industri properti untuk mendefinisikan kembali dan mengubah bangunan dari konsumen energi pasif menjadi kontributor aktif dengan menghasilkan energi terbarukan untuk kebutuhan sendiri.

Kolaborasi antara pemilik properti dan penghuni akan sangat penting dalam memenuhi tuntutan bangunan berkelanjutan. Banyak penghuni yang saat ini mengandalkan Sertifikat Energi Terbarukan (RECs) dan Perjanjian Pembelian Tenaga (PPAs) untuk pengadaan energi terbarukan.

Sementara itu, pengembang biasanya fokus pada jejak karbon yang terkandung dari konstruksi bangunan, sehingga dampak rancang bangun interior sering diabaikan. Saat ini, ungkap Miglani, 65% penghuni yang disurvei menyebutkan jika investasi yang diperlukan untuk fit-out kantor sebagai salah satu tantangan keberlanjutan terbesar mereka.

Rancang bangun menyumbang sekitar sepertiga dari emisi, terutama karena rata-rata kantor mengalami perubahan interior setidaknya 20 kali dalam siklusnya. Kurangnya perhatian menyangkut emisi dalam rancang bangun interior disebabkan oleh pemisahan tradisional antara tim yang bertanggung jawab atas pengembangan bangunan dan rancang bangun interior.

“Membongkar silos yang telah terbentuk adalah kunci untuk bertransisi menuju nol limbah dalam fase desain hingga pengadaan dan penggantian, untuk mendukung pengurangan emisi yang terkait dengan limbah dan penggunaan material,” tambah Miglani.

Standar yang Berkembang

Seiring meningkatnya perhatian terhadap aspek dekarbonisasi dalam portofolio, para penghuni menuntut data kinerja bangunan dan keberlanjutan yang melebihi sertifikasi. Untuk itu, para penghuni beralih ke teknologi keberlanjutan untuk otomatisasi pelacakan dan pelaporan data lingkungan, serta memanfaatkan kecerdasan buatan untuk peningkatan efisiensi energi.

Namun, menavigasi lanskap peraturan dan pelaporan ESG (Environmental, Social, and Governance) yang selalu berubah dan kompleks tetap menjadi tantangan. Karena regulasi memainkan peran kunci dalam menilai kesesuaian dengan target iklim dalam konteks global dan regional, kunci utamanya adalah mengidentifikasi dan mengevaluasi standar yang paling relevan dan penting dalam konteks strategi ESG organisasi sendiri.

“Di seluruh Asia Pasifik, akan ada persaingan yang ketat untuk mendapatkan aset yang berkelanjutan. Penghuni perlu menavigasi realitas ini melalui perencanaan yang kokoh di sepanjang rantai nilai realestat mereka, yang menghasilkan kerjasama yang lebih kuat dengan pemilik tanah, investor, mitra teknologi, dan administrasi kota,” kata Elke Kornalijnslijper, Head of Sustainability Consulting, Asia Pacific JLL.

Prisca Winata, Senior Sustainability Manager JLL Indonesia menambahkan, permintaan akan properti ramah lingkungan di Indonesia terus meningkat. Pada kuartal keempat tahun 2023, 54% bangunan grade A di Jakarta sudah bersertifikat hijau. Mengubah bangunan lama yang tidak sustainable menjadi prioritas untuk memenuhi permintaan pasar, serta melindungi nilai properti dari penurunan kedepannya. Berbagai perusahaan juga telah mengadopsi strategi keberlanjutan dan memanfaatkan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) untuk melakukan pemantauan data lingkungan.

“Nantinya, mendapatkan aset yang sustainable akan menjadi sangat kompetitif, dan kerjasama antara pemilik properti dan penghuni sangat penting dalam mencapai tujuan keberlanjutan,” ujarnya. (MRI)