
Muhammad Joni (Foto: Oki Baren)
Jakarta – Aturan penerbitan sertipikat elektronik dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen) dari sisi hukum dianggap masih lemah. Sebaiknya, aturan ini tertuang dalam beleid yang levelnya lebih tinggi, yaitu minimal Peraturan Pemerintah (PP) atau bahkan undang-undang (UU).
“Ide hukumnya bagus. Namun formula materi muatan tidak memadai dengan Peraturan Menteri ATR. Minimal PP karenanya kontennya hak atas tanah yang mana hak atas harta kelayaaan dijamin UUD 1945. Terlalu lemah kalau hanya diatur oleh Permen ATR,” jelas praktisi hukum properti Muhammad Joni saat dihubungi industriproperti.com, Senin, 8 Februari 2021.
Menurut Joni, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertipikat Elektronik, hanya beleids regels atau peraturan kebijakan.
“Permen hanya beleids regels. Kekuatan berlaku dokumen dan data elektronik, khususnya data yuridis tanah, dan sertipikat hak atas tanah sebagai tanda bukti hak. Levelnya materi muatan UU atau minimal PP,” ungkap Sekretaris Umum The Housing and Urban Development (HUD) Institute.
Dalam pelaksanaan aturan baru pelayanan sektor pertanahan ini, imbuh Joni, sebaiknya dilengkapi dengan sanksi. Hanya saja, kapasitas peraturan menteri untuk pemberian sanksi tidak bisa dilakukan.
“Pengaturannya tidak sebatas pengakuan data elektronik, namun dilengkapi dengan sistem sanksi yang tidak bisa dicakup kapasitas Permen ATR,” tutup Joni.
Kementerian ATR/BPN sebelumnya menyebutkan, peluncuran sertipikat elektronik dilatarbelakangi oleh efisiensi pendaftaran tanah, kepastian hukum dan perlindungan hukum, mengurangi jumlah sengketa, konflik dan perkara pengadilan mengenai pertanahan dan menaikan nilai registering property dalam rangka memperbaiki peringkat Ease of Doing Business (EoDB). (BRN)