Jakarta – Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) telah menerima sebanyak 6.045 pengaduan selama tahun 2017 hingga 28 April 2021. Bidang perumahan, yakni sebanyak 2.663 pengaduan, menempati urutan teratas yang dikeluhkan konsumen.
“Masalah perumahan masih menempati posisi pengaduan masyarakat yang tertinggi. Urutan kedua teratas keluhan konsumen adalah pada sektor jasa keuangan sebanyak 2.170 pengaduan. Transaksi e-commerce menempati urutan ketiga yakni 652 pengaduan,” ungkap Komisioner Komisi Advokasi BPKN Charles Sagala, dalam Ngabuburit Consumer Talk; “Cara Aman Beli Rumah/Apartemen” yang disiarkan melalui kanal YouTube, Jumat, 30 April 2021.
Konsumen tidak hanya mengadukan nasibnya ke BPKN, ternyata masyarakat juga mengeluhkan persoalan perumahan kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Seperti penuturan Direktur Pelaksanaan Pembiayaan Perumahan Direktorat Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR, Haryo Bekti Martoyoedo, selama empat tahun terakhir, tercatat tidak kurang dari 1.484 pengaduan yang masuk.
“Kami mencatat, sepanjang tahun 2019, persoalan terbanyak adalah Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) yakni sebanyak 200 pengaduan. Berikutnya, sebanyak 150 pengaduan terkait masalah developer. Persoalan kualitas rumah bersubsidi menempati urutan keempat terbanyak sepanjang 2019 yakni 32 pengaduan,” ungkap Haryo.
Peta pengaduan perumahan terbagi dalam tiga kelompok, yakni pra transaksi atau sebelum pembangunan, saat transaksi, dan pasca transaksi atau setelah pembangunan.
Keluhan konsumen terkait pra transaksi antara lain pembelian dan pembangunan unit tidak sesuai perjanjian, pembatalan pembelian unit, serta permintaan refund dan booking fee.
“Sedangkan permasalahan saat pembangunan seputar developer ingkar janji terkait proses pembangunan, dan konsumen yang tidak menyelesaikan cicilan. Tidak hanya itu, ada konsumen yang sudah melunasi pembayaran namun pembangunan mangkrak,” imbuh Charles.
Adapun persoalan pasca transaksi yakni pembangunan tidak sesuai spesifikasi, dan konsumen sudah melunasi tapi sertipikat masih atas nama pengembang. “Belum terbentuknya Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS), dan belum adanya fasilitas umum dan fasilitas sosial (fasum/fasos) di unit hunian juga menjadi topik aduan,” kata Charles.
Haryo menambahkan, untuk menjamin terpenuhinya hak-hak konsumen perumahan, pihaknya sudah menerbitkan beragam aturan. “Kami berharap dengan aturan main yang ketat, maka konsumen tidak akan mengalami kerugian ketika membeli rumah. Selain regulasi, Kementerian PUPR juga melakukan pengawasan di lapangan guna memutus rantai permasalahan terkait pemenuhan hak-hak konsumen bidang perumahan,” ujarnya. (BRN)