
Jakarta – Dewan Pengurus Daerah Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPD REI) Nusa Tenggara Timur (NTT) berkoordinasi dengan pemerintah daerah (pemda) setempat untuk meninjau ulang besaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk rumah subsidi.
Bobby Thinung Pitoby, Ketua DPD REI NTT mengatakan penurunan BPHTB akan sangat membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk memiliki rumah dengan harga yang lebih terjangkau. “Kami harap dengan koordinasi Pemda, BPHTB untuk rumah MBR dapat turun atau bahkan dihapuskan,” kata Bobby kepada industriproperti.com, Selasa 22 Januari 2020.
Pemda diminta untuk menyesuaikan nilai objek pajak atas bumi dan bangunan yang tidak kena pajak (NJOPTKP) sebagai salah satu komponen perhitungan besaran BPTHB, yang lebih rendah daripada harga jual rumah subsidi yang diterapkan pemda saat ini.
Bobby menjelaskan perhitungan BPHTB di NTT yang berlaku saat ini adalah harga jual rumah dikurangi Rp 60 juta dan dikalikan 5%. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). NJOPTKP seharusnya lebih tinggi dari harga jual rumah MBR yang saat ini berkisar di nilai Rp 168 juta per unit di NTT.
“Kami mengajukan pada Pemda NJOPTKP naik menjadi Rp 170juta – Rp 175 juta,” papar Bobby
Besaran BPTHB di NTT yang dibebankan kepada MBR pada awal akad mencapai Rp 5,4 juta. Apabila MBR tersebut mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR) melalui perbankan, biaya yang dibebankan bertambah. Penambahannya bahkan mencapai Rp 12 juta, setelah ditambah biaya notaris, biaya administrasi, biaya provisi, dan sebagainya. Besaran nilai tersebut akhirnya menjadi pertimbangan MBR menunda membeli hunian.
REI NTT berharap penyesuaian BPHTB untuk rumah MBR akan mendorong pertumbuhan ekonomi di provinsi tersebut. “Bila ekonominya naik, Pemda dapat meningkatkan nilai PBB dan retribusi lainnya untuk pemasukan daerah,” pungkas Bobby.