
Jakarta – Pengajar di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK-ITB), Jehansyah Siregar menegaskan adanya diskriminasi atas tempat tinggal kelompok miskin dan berpendapatan rendah di perkotaan akan menghambat kemajuan kota. “Hal ini disebabkan pemerintah memandang kebanyakan orang yang tinggal di kawasan permukiman kumuh adalah warga dan permukiman ilegal. Karena itu, pemerintah kota umumnya memang tidak merencanakan atau mengelola permukiman kumuh,” tegas Jehan dalam Diskusi 5 Pilar yang mengangkat tema “Peluang Pengembangan Kebijakan Penyediaan Tanah Bagi Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) melalui daring.
Bahkan, menurut Jehan, tidak jarang warga yang tinggal di dalamnya diabaikan atau dikucilkan. Sehingga warga permukiman kumuh di perkotaan tidak mendapatkan prasarana secara layak dan memadai seperti yang didapatkan warga kelas menengah dan atas, seperti air bersih, listrik dan sanitasi lingkungan.
“Sikap terhadap warga dan permukiman kumuh yang dipandang ilegal ini, membuat keadaan permukiman kumuh di kota-kota tidak berubah dan bila ada pembiaran seperti ini akhirnya berdampak pada kota secara keseluruhan. Pada gilirannya akan selalu menyeret laju pembangunan kota menjadi lambat dan terus bermasalah,” jelas Jehan yang memperoleh gelar doctor dari Jepang ini.
Pada kesempatan tersebut, Jehan juga memberikan kritik terhadap sistem administasi pertanahan, yang dinilainya masih berbelit – belit, panjang, mahal dan tidak transparan. “Sistem administrasi pertanahan kita tidak memihak untuk bisa diakses oleh golongan bawaah atau kelompok miskin,” tegas jehan
Melalui paper tertulisnya, Jehansyah mengusulkan ada beberapa langkah-langkah perubahan struktural yang perlu digiatkan, seperti, pertama melakukan upaya proaktif terhadap otoritas pertanahan pada pemerintah nasional dalam rangka pelaksanaan visi dan misi pembangunan, khususnya untuk mendukung program – program pembangunan yang membutuhkan dukungan data pertanahan.
Kedua, menurut Jehan diperlukan upaya untuk mengidentifikasi dan mendata pola-pola Penguasaan tanah perkotaan, terutama oleh lembaga- lembaga pemerintah dan pengusaha besar.
Ketiga, mengidentifikasi kawasan-kawasan marjinal perkotaan (kawasan permukiman kumuh, kawasan pertokoan terbengkalai, kawasan belakang gedung-gedung, kawasan bantaran sungai dan rel kereta) yang semakin menurun kualitasnya.
Keempat, menyiapkan program-program pembangunan secara komprehensif-terpadu yang menunjukkan secara jelas indikasi kebutuhan tanah, sistem manajemen pengembangan lahan dan penataan ruang perkotaan.
Kelima, memperkuat sistem kelembagaan dan kapasitasnya, serta pengembangan multi-sistem penyediaan perumahan, meliputi sistem perumahan umum (public housing system), perumahan swadaya (self-help housing), perumahan sosial (social housing) dan sistem perumahan komersial (commercial housing). Sejalan pula dengan sistem penataan kota (urban redevelopment) maupun sistem pembangunan kota baru (newtown development).
Jehan juga melihat bahwa pembangunan perumahan dan perkotaan tidak bisa lagi hanya dikelola melalui sistem tender proyek-proyek dan lembaga yang tanpa sistem. Program perumahan rakyat dan penanganan permukiman kumuh tidak akan bisa efektif tanpa melakukan intervensi dalam manajemen tanah perkotaan (land tenure management). Skema progam juga perlu memasukkan jaminan bermukim (secure tenure). (ADH)