PR untuk Pilkada 2020, Reformasi Birokrasi Pelayanan Publik

0
741

Pilkada langsung serentak 9 Desember 2020 diharapkan dapat menghasilkan eksekutif yang pro terhadap pertumbuhan ekonomi. Demikian isu yang diangkat pada artikel pertama dari dua tulisan bersambung yang dapat disimak pada link: www.industriproperti.com/headline/begini-harapan-rei-dalam-pilkada-2020/. Tulisan di bawah ini adalah sambungan dari artikel tersebut.

Jakarta – Reformasi birokrasi serta upaya perbaikan kualitas pelayanan publik menjadi sekelumit harapan dunia usaha setelah pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung secara serentak pada hari Rabu, 9 Desember 2020. Demikian rangkuman wawancara industriproperti.com bersama sejumlah pelaku usaha sektor properti.

“Reformasi birokrasi terutama di bidang pelayanan publik mutlak harus dilakukan. Selama ini yang terjadi adalah adanya ketidaksinkronan antara penyelenggaraan layanan publik dalam bidang pertanahan di kabupaten/kota dengan kebijakan yang diterapkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Kebijakan yang sudah bagus diterapkan Menteri ATR/BPN ternyata berbeda implementasinya di lapangan,” kata Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) REI Bidang Perizinan, M. Turino Junaedi, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu, 9 Desember 2020.

Para kepala daerah yang akan terpilih harus dapat melakukan perbaikan terkait kualitas pelayanan publik di daerahnya masing-masing. “Harus ada ketetapan daftar izin lengkap untuk setiap jenis usaha yang ada. Patut diketahui, bahwa banyak rekan pelaku usaha properti di daerah yang terkendala soal masalah perizinan berusaha di daerah,” kata Junaedi.

Pasalnya, kata Junaedi, di sebagian besar wilayah di Indonesia menerapkan kebijakan yang tidak seragam di setiap daerah. “Contohnya, apa saja daftar perizinan lengkap untuk pengajuan izin usaha mendirikan rumah sakit. Sebab di dalamnya terkandung beberapa bidang usaha lainnya. Mulai dari usaha apotek, terapi, kantin atau depot, parkir, usaha minimarket, hingga izin usaha reklame. Itu semua harus dijelaskan apa saja kebutuhan izin yang harus diurus,” tegasnya.

Pemerintah daerah berkewajiban menetapkan daftar izin-izin tersebut agar dalam praktiknya di lapangan tidak terjadi kekeliruan. “Jangan sampai setiap orang menafsirkan sendiri sehingga tidak ada kepastian didalamnya. Pemda harus dapat mengakomodasi kebutuhan perizinan bagi dunia usaha,” ujar Junaedi.

Keluhan terkait masalah perizinan seperti disampaikan Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) REI Jambi Ramond Fauzan. Dia mengatakan, persoalan perizinan pembangunan perumahan di Provinsi Jambi merupakan ranah kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota. “Urusan perizinan gampang-gampang susah. Tergantung siapa pejabat pelaksana di lapangan. Ada yang gampang, namun tak sedikit pula yang sulit. Tapi, secara umum sekitar 70 persen sudah dalam kriteria bagus untuk aspek pelayanannya,” ungkap Ramond.

Senada dengan Ramond, Ketua DPD REI Bengkulu, Yudi Gamawan menyebut bahwa mengurus perizinan usaha pembangunan perumahan di daerahnya masih berbelit-belit. “Kondisi urusan perizinan di Bengkulu saat ini sangat berbelit-belit. Kami berharap kepala daerah terpilih nanti dapat menjalankan amanah dan tidak mempersulit rakyat,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua DPD REI Sumatera Barat, Ardinal berharap, “Semoga gubernur terpilih kedepannya dapat lebih baik dan mempermudah apapun tentang perizinan untuk kita semua.”

Ujung Tombak UU Cipta Kerja

Wakil Ketua Umum DPP REI Bidang Tata Ruang Hari Ganie menyatakan, idealnya setiap kebijakan para kepala daerah harus sinkron dengan kebijakan pemerintah pusat. Para kepala daerah harus menjadi ujung tombak dalam penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. “Kebijakan yang dikeluarkan para kepala daerah terpilih itu harus sejalan dengan kebijakan di tingkat pusat terutama terkait UU Cipta Kerja. Baik di bidang penataan ruang, perumahan dan kawasan permukiman, maupun sektor perizinan. Sebab semua itu dalam kerangka mendukung kemudahan berusaha dan perbaikan ekonomi melalui penciptaan lapangan kerja sebagaimana ruh dari UU Cipta Kerja,” tegasnya.

Menurut dia, jangan ada lagi jenis-jenis perizinan baru yang bersifat offline. “Pemerintah daerah juga tidak boleh lagi menerbitkan peraturan-peraturan daerah tentang perizinan. Semua arahnya harus sama dengan kebijakan UU Cipta Kerja, yakni lebih cepat, tidak birokratis, tidak bertele-tele, dan meniadakan biaya,” ucap Hari.

Lebih jauh dia menyebutkan, adanya ketidakpastian terkait penataan ruang yang terjadi selama ini di berbagai daerah terbukti telah mempersempit ruang gerak dunia usaha. Pemerintah daerah harus secara serius menyusun dan menetapkan tata ruang wilayah di daerahnya dengan dukungan pendanaan yang memadai. “Tanggung jawab penyusunan dan penerbitan tata ruang tidak bisa hanya dibebankan semata-mata kepada Dinas Tata Ruang. Seluruh dinas harus ikut bertanggung jawab dalam menyuplai data-data agar penyusunan tata ruang bisa lebih akurat serta benar-benar mencerminkan kondisi di daerah,” kata Hari.

Hari mencontohkan, data yang dimiliki Kantor Pertanahan di daerah harus diberikan kepada Dinas Tata Ruang. Termasuk data terkait usaha pertambangan yang dipegang Dinas Pertambangan juga mesti disetorkan kepada Dinas Tata Ruang. Hal ini agar tidak terjadi kekeliruan informasi yang dikelola oleh Dinas Tata Ruang. “Ada lahan eks HGU (hak guna usaha) yang telah diubah menjadi HGB (hak guna bangunan), tapi tidak diinformasikan ke Dinas Tata Ruang,” tukasnya.

Hari juga mengungkapkan, saat ini dari 540 kabupaten/kota di seluruh Indonesia hampir seluruhnya telah menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Hanya saja, baru segelintir daerah yang telah merampungkan turunan dari RTRW itu, yakni Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). “Saat ini baru ada 60 RDTR dari 540 kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Kepala daerah masih banyak yang enggan menerbitkan RDTR. Padahal itu penting sebagai landasan untuk penyelenggaraan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (Online Single Submission/OSS),” kata dia.

Persoalan reformasi birokrasi, utamanya terkait aspek pelayanan publik untuk mendukung iklim usaha memang menjadi sebuah kebutuhan yang mutlak harus terpenuhi. Agar tidak ada lagi pelaku usaha yang menjadi martir akibat kelalaian atau keteledoran pemangku kebijakan di bidang layanan publik. Semoga saja. (BRN)